Senin, 18 April 2011

Birokrasi dan Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Sejarah

A. Pendahuluan
    Setelah 60 tahun merdeka, korupsi merupakan masalah yang tidak pernah selesai di Indonesia. Korupsi merupakan salah satu penyebab timbulnya krisis multidimensi pada  tahun 1997 sampai sekarang. Berdasarkan survey yang dilakukan lembaga The Political and Economic Risk Consultancy pada bulan Januari – Februari 2005 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat pertama sebagai Negara terkorup di Asia. Terdapat dua lembaga terkorup di Indonesia, yaitu peradilan dan birokrasi.
    Korupsi merupakan salah satu bentuk keserakahan yang disebabkan oleh kondisi mental yang korup dan mental yang jauh dari agama.
Kajian ini akan membahas mengenai jalinan korupsi dan birokrasi di Indonesia dari perspektif sejarah, mulai dari masa kolonial dan pasca kemerdekaan.

 B. Pengertian Birokrasi
Istilah birokrasi diambil alih dari bahasa Inggris, yaitu dari kata bureaucracy.  Secara etimologis, kata tersebut berasal dari akar kata bureau yan berarti meja tulis, yaitu tempat pejabat bekerja, dan ditambah kata Cracy yang berarti aturan. Dalam kamus bahasa eropa abad ke-18 dan ke-19, istilah birokrasi diartikan sebagai kekuasaan, pengaruh, atau wewenang yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan.
Sekarang ini birokrasi dipahami sebagai lembaga atau institusi yang melaksanakan fungsi dan tanggungjawab Negara. Selain itu birokrasi juga dipahami sebagai organisasi para apejabat pemerintah yang tersusun secara herarkhis dan diangkat untuk melaksanakan tujuan-tujuan tertentu.
Citra birokrasi yang ideal menurut para ilmuwan politik biasanya mengacu pada pemikiran Max Weber (1864-1920), sosiolog Jerman dan para pendukungnya menyebut dengan Birokrasi Weberian. Birokrasi Weberian mempunyai lima cirri pokok, yaitu :
  1. Adanya derajat spesialisasi atau pembagian tugas yang jelas.
  2. Adanya struktur kewenangan hirarkis dengan batas-batas tanggung jawab yang jelas
  3. Hubungan antar anggota yang impersonal
  4. Cara pengangkatan atau rekrutmen pegawai yang didasarkan pada kecakapan teknis
  5. Adanya pemisahan antara urusan dinas dengan urusan pribadi yang akan menjamin pelaksanaan tugas secara efisien

C. Pengertian Korupsi
Istilah korupsi sama seperti Birokrasi, diambil dari bahasa Inggris, dari kata Corruption. Kata Corruption merupakan kata benda yang tak dapat dihitung, yang bermakna menjadi korup, rusak atau busuk. Asal kata corruption ialah dari kata sifat corrupt, yang berarti: korup,jahat, buruk, atau rusak. Corrupt yang dipakai untuk kata kerja bermakna:menyuap, merusak atau mengubah.
  Makna korupsi yang diaplikasikan dalam bidang politik atau kekuasaan umumnya merujuk dalil yang dikemukakan oleh ilmuwan Politik Inggris, Lord Acton. Menurut Lord Acton Kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolute akan korup secara absolute pula ( power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely). Hal ini berarti bahwa kekuasaan menjadi sumber utama terjadinya korupsi, serta rawan timbulnya penyimpangan dan penyalahgunaan yang merugikan kepentingan seluruh rakyat.
Menurut Prof. DR Amin Rais, MA, terdapat empat  jenis korupsi, yaitu:
1.            Korupsi eksortif
Korupsi eksortif mengacu kepada keadaan yang membuat seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan perlindungan atas hak-hak dan kebutuhannya. Contohnya seorang pengusaha yang terpaksa memberikan sogokan kepada pejabat agar mendapat izin usaha dan mendapat perlindungan terhadap usahanya.
2.            Korupsi manipulatif
Korupsi manipulatif mengacu kepada usaha kotor yang dilakukan oleh seseorang untuk mempengaruhi pembuat kebijakan demi keuntungan peibadi yang sebesar-besarnya.



3.            Korupsi nepotistik
Korupsi nepotistic mengacu kepad perlakuan istimewa yang diberikan kepada anak, kemenakan atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon dimanapun mereka menjabat.
4.            Korupsi Subversif
Korupsi ini mengacu kepada pencurian terhadap kekayaan Negara, baisanya dilakukan oleh pejabat yang berkolusi dengan pengusahaa. Korupsi jenis ini bersifat subversif karena membahayakan eksistensi Negara dalam jangka panjang.

D. Birokrasi dan Korupsi Massa Kolonial
      Sejarawan Belanda, Furnivall menulis dalam bukunya, Colonial Policy and Practice: A Comparative study of Burma and Netherlands India, bahwa negari Belanda dan Hindia Belanda ( Indonesia ketika dijajah belanda ) praktis bebas dari korupsi. Pandangan Furnivall itu tidak sepenuhnya benar. Hindia Belanda sebelum tahun 1800 tatkala berada dibawah kekuasaan VOC justru terdapat contoh tingkah laku korupsi yang dilakukan oleh pegawai pemerintahan ( birokrasi) VOC. Para pegawai VOC pada umumnya menerima gaji yang terlalu rendah sehingga mudah tergoda untuk melakukan penyimpangan (korupsi). Apalagi pengawasan hamper tidak ada sama sekali. Para pejabat VOC banyak yang menjadi kayak arena mencuri (korupsi) dari perusahaan.
Salah satu penyebab utama bangkrutnya pemerintahan (birokrasi)VOC ialah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi yang merajalela. Korupsi sebagai factor utama bangkrutnya VOC terjadi terutama disebabkan oleh gaji para pejabat, baik pejabat Belanda maupun pejabat pribumi sangat rendah. Sebagai contoh, gaji tertinggi adalah gubernur jenderal sebesar 600-700 gulden per bulan, sedangkan gaji yang dianggap paling rendah adalah gaji seoranng juru tulis sebesar 16-24 gulden per bulan. Semuanya menghadapi berbagai macam godaan, namun tentu saja yang paling berpeluang memenuhi godaan itu adalah gubernur jenderal. Sebagian besar gubernur jenderal setelah berhenti dari jabatannya menjadi orang yang kaya raya.
Untuk mendapatkan kedudukan yang strategis, para pegawai VOC terbiasa amelakukan suap, sehingga mereka akan berupaya mengembalikan modal dengan menjual jabatan bupati hingga kepala desa kepada penawar yang paling tinggi. Bahkan yang lebih parah lagi banyak pegawai VOC yang melakukan perdagangan untuk dirinya sendiri dengan memanfaatkan VOC.
Pemerintah Kolonial Belanda yang mengambil alih kekuasaan VOC setelah runtuhnya VOC (1800) relative lebih bersih meskipun pegawai yang bekerja kebanyakan adalah pegawai VOC yang korup. Namun demikian, hubungan antara birokrasi dan korupsi tidak hilang. Sebagai contoh Implementasi system politik Tanam Paksa atau Cultuurstelsel (1830-1870) yang menggunakan system persentase membuka peluang para pejabat pribumi untuk melakukan korupsi.

E. Birokrasi dan Korupsi pada masa Pascakemerdekaan
      Pascakemerdekaan, korupsi mulai merebak di Indonesia pada tahun 1950-an. Pengamatan yang dilakukan oleh Bung Hatta menunjukkan bahwa gaji para pegawai pemerintah yang tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari telah membuat suap atau sogok menjadi hal yang lazim. Kondisi ini menimbulkan kerusakan apda masyarakat dan Negara.
      Jalinan antara birokrasi dan korupsi mencapai puncak pada era Orde Baru. Sentralisasi kekuasaan di tang presiden Soeharto pada awalnya digunakan untuk mendukung pembangunan pada awalnya cukup bermanfaat bagi rakyat. Namun dalam perkembangannya sentralisasi itulah yang membuat Soeharto, keluarga dan rekannya mengembangkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Menurut eorge Junus Aditjondro, KKN yang dikembangkan oleh Soeharto dan kroninya dapat dilacak salah satunya dalam delapan yayasan. Pertama yayasan yang diketuai oleh Soeharto sendiri seperti Supersemar, Dakab, darmasi, dll. Kedua, yayasan yang diketuai oleh Ibu Tien semasa hidupnya seperti Harapan Kita, kartika Candra, TMII, dll, Ketiga, yayasan yang dikelola oleh saudara kandung, saudara tiri dan saudara sepupu dan istrinya, seperti Probosuredjo (adik tiri), Sudwikatmono (sepupu). Keempat, yayasan yang diketuai oleh anak, menantu dan cucunya. Kelima, yayasan yang diketuai para besan Soeharto seperti Kowara (pembangunan Jawa Barat), Soemitro Djojohadikusumo (WALHI). Keenam, yayasan yang diketuai sanak saudara Soeharto, seperti Pangadeg, Ketujuh, yayasan yang dikuasai Soeharto melalui kaki tangannya, seperti habibie, Bob Hasan, Sudomo, Joop Ave, dll. Kedelapan, yayasan yang dikelola ABRI tetapi sangat terlibat dalam bisnis keluarga Soeharto seperti yayasan Kartika Eka Paksi.
Pasca runtuhnya Orde Baru dan memasuki era Reformasi yang relative lebih demokratis, birokrasi semakin tidak mendapat kepercayaan masyarakat. Hal ini merupakan akibat dari buruknya pelayanan birokrasi terhadap masyarakat yang dilakukan pegawai pemerintah. Disamping itu, birokrasi tercoreng oleh KKN yang bukannya hilang melainkan bertambah merajalela. Praktek-praktek KKN seperti pengurusan surat-surat dan berbagai perijinan,serta barang dan jasa yang dihasilkan pihak swasta seperti jalan tol, transportasi, semen dan komoditas lainnya telah menjadi ongkos birokrasi yang mahal dan terjadinya distorsi dalam mekanisme pasar yang tampak pada praktek monopoli yang merugikan kepentingan public.
Saat ini KKN telah merajalela bukan hanya di lingkungan birokrasi baik pusat maupun daerah, melainkan juga di lingkungan legislative baik pusat maupun daerah. Bahkan yang sangat ironis, KKN juga telah merambah Komisi Pemilihan Umum, instrument demokrasi yang seharusnya bersih dari perilaku buruk seperti korupsi. Mengacu pada pemikiran Syafuan Rozi Soebhan, model baru birokrasi yang hendaknya dibangun di Indonesia adalah: (1) kultur dan struktur kerja yang rasional-egaliter, bukan yang irrasional-hirarkis. (2) hubungan kerja atas dasar partisipan, bukan komando (3) tujuan kerjanya mengarah pada pemberdayaan public dan demokratisasi, bukan penguasaan dan pengendalian public (4) sikap terhadap public adalah professional dalam melayani public dan tranparansi biaya, bukan ekonomi biaya tinggi.(5) Model pelayanan kompetitif, bukan kebalikannya, (6) keterkaitan dengan politik didasarkan pada prinsip netralitas politik birokrasi, dan bukan birokrasi yang berpolitik.

 F. Korupsi menurut Islam
Semua fenomena yang telah dikemukakan diatas sangat memprihatinkan, karena pertama, Indonesia adalah sebuah Negara yang mayoritas  penduduknya beragama islam (80 %), sementara ajaran islam sangat anti korupsi. Kedua, masyarakat Indonesia dikenal sangat religius yang mana agama diperkirakan mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, namun dalam kenyataannya korupsi menempati rangking I di Asia.
Ajaran Islam sangat anti korupsi dapat ditelusuri dari pemilahan lima jenis harta hasil selingkuh jabatan yang berkaitan dengan kekuasaan dan birokrasi. Kelima jenis harta yang dapat dikategorikan sebagai korupsi adalah : pertama, suap (risywah). Suap dan segala bentuk manifestasinya seperti uang semir, uang rokok, dan uang pelican diharamkan dalam ajaran islam. Semua yang terlibat suap, baik pemberi maupun penerima dilaknat Allah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :” Laknat Allah bagi penyuap, penerima suap dan perantara mereka.”  
Kedua Hadiah atau hibah, Dalam islam hadiah atau hibah yang diterima oleh pejabat yang terkait dengan kekuasaan dan birokrasi merupakan salah satu bentuk kecurangan. Hal ini karena hadiah atau hibah tersebut tentu ada maksud-maksud tertentu yang melatar belakanginya. Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda :” Pemberian (hibah) kepada penguasa adalah kecurangan”.
Ketiga, Rampasan, Harta yang diperoleh dengan cara merampas atau melalui represi kekuasaan atau birokrasi mutlak diharamkan dalam ajaran islam. Mengacu kepada sabda Rasulullah :”Janganlah kamu makan harta orang lain dengan cara bathil”
Keempat, Komisi, Semua jenis komisi baik yang halal maupun yang tidak , dilarang oleh islam untuk diterima oleh pejabat atau pegawai apabila terkait dengan kekuasaan dan kewenangan sebuah jabatan. Rasulullah mengingatkan dalam sebuah hadist : “Siapa yang sudah diberi rizki atas jabatannya, janganmengambil lagi diluar itu karena berarti curang”.
Kelima, Rampokan, harta yang diperoleh melalui cara kekerasan, menipu danmerugikan orang lain haram hukumnya dalam islam. Rasulullah bersabda : “ Bukan umat kami, orang yang merampas dan merampok, serta yang mendukungnya.”
Pemberantasan korupsi tidak akan berarti apabila tidak ada perbaikan system dalam birokrasi. Sementara itu perbaikan system dalam birokrasi menuntut tersedianya sumber daya manusia birokrasi, yakni pera pejabat dan pegawai yang bersih, jujur dan bermental anti korupsi. Disini letak titik temu, dimana agama dapat berperan untuk membina dan mendidik SDM birokrasi yang bersih, jujur dan bermental anti korupsi tersebut.

G. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Pertama, Korupsi di Indonesia sebagai variable sejarah dalam arti merupakan budaya bangsa sebenarnya tidak tepat, sebab lebih berkaitan dengan variable struktur birokrasi yang membuka peluang dan celah-celah bagi terjadinya korupsi. Kedua, ajaran islam sangat anti korupsi, sehingga perlu disosialisasikan kepada seluruh masyarakat bahwa korupsi merupakan salah satu biang utama kehancuran bangsa, dan harus diberantas sampai ke akar-akarnya.

H. Tanggapan
Dari uraian diatas hubungan antara korupsi dan Birokrasi saling berkaitan, dimana seperti yang dikatakan ilmuwan Politik Inggris, Lord Acton bahwa Kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolute akan korup secara absolute pula ( power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely) sehingga perlu adanya control yang jelas terhadap birokrasi dan penentuan batasan waktu dalam sebuah jabatan
Dari uraian diatas juga perlu ditambah dengan aturan atau hukum pidana korupsi sesuai dengan  Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga menjadi jelas ketika seorang Birokrat melakukan perbuatan yang mengarah ke Korupsi.
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebut “korupsi” ( dari bahasa latin corruptio = penyuapan, corruptore = merusak), gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun secara harfiyah dari korupsi berupa :
a)      Kejahatan, kebusukan dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran ( S wojowasito- W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, penerbit : Hasta Bandung).
b)      Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya ( W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, penerbit : Balai Pustaka, 1976)
Menurut Evi Hartanti, SH dalam bukunya Tindak pidana Korupsi menyatakan bahwa Secara harfiah korupsi merupakan suatu yang busuk, jahat dan merusak, karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintahan, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, factor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya
Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam Kamus Hukum, yang dimaksud curruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan negara.
Baharudin Lopa mengutip pendapat dari David M Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yaitu  yang menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari definisi yang dikemukakan, antara lain : Manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi.  Dikatakan pula, Pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian hadiah, onkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh kedudukan social, ayau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai perbuatan korupsi. 
Apapun arti dari korupsi itu sendiri, maka perlu diberantas karena merusak sendi-sendi bangsa, dan perlu adanya kepastian hukum, sehingga tidak merusak anak bangsa dari generasi ke generasi.













DAFTAR PUSTAKA

Albrow, Martin (1996), Bureucracy, terjemahan, M.Rusli Karim dan Totok Daryanto, Birokrasi, Yogyakarta: Tiara Wacana

Boxer, C. R. (1983), “Jan Compagnie in War and Piece 1602-1799 A Short History of the Dutch East-India Company” terjemahan Bakri Siregar Jan Kompeni dalam Perang dan Damai 1602-1799, sebuah sejarah singkat tentang Persekutuan Dagang Hindia Belanda, Jakarta: Sinar Harapan

Djoko Susilo (editor) (2004), Kuasa antara Moral, Etika dan Amanat: PErcikan Pemikiran M. Amin Rais, Yogyakarta: Palem

Aditjondro, George Junus (1998), Dari Soeharto ke Habibie Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua Puncak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Rezim Orde Baru, Jakarta: Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan (MIK) dan Pijar Indonesia

Hartanti, Eni, SH, (2007) Tindak Pidana Korupsi, ed.2, Jakarta: Sinar Grafika

S. Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Bandung: Hasta

W.J.S Poerwadarminta, (1976), Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.



















Rabu, 13 April 2011

Pendekatan dalam Pengkajian Islam

A.  Pendahuluan

Dalam pengkajian Islam ada beberapa pendekatan yang digunakan, diantaranya dapat dikaji dari tulisan Charles J. Adam yang berjudul Islamic Religion Tradition. Tulisan ini diedit oleh Leonard Binder dalam bukunya The Study of the Middle East yang diterbitkan oleh John Wiley and Sons Inc. Canada.
Terdapat kesulitan yang sangat esensial dalam melakukan kajian terhadap islam menurut Charles J Adams. Hal ini terkait adanya kesulitan untuk membuat batasan atas dua unsur, yaitu; islam dan tradisi keagamaan. Problem terpenting adalah belum adanya definisi yang tepat dan universal terhadap kedua terminologi tersebut diatas.
Adams kemudian mencoba menjawab Kesulitan ini untuk melihat islam dengan berbagai metode dan pendekatan yang lebih relevan dan universal seperti ; pendekatan Normatif, pendekatan Fillologi dan historis, pendekatan Ilmu Sosial, dan pendekatan Fenomenologi dalam memetakan antara islam dan tradisi keagamaan. Dengan berbagai alternatif pendekatan yang digunakan oleh Adams, ia ingin menunjukkan walau bagaimanapun bahwa Islam memiliki aspek historis yang termanifestasikan dari pengalaman dan tindakan umatnya dalam menunjukan keimannya.[1]
Berbicara mengenai pendekatan dalam pengkajian Islam, tidak dapat lepas dari pemahaman Al Qur’an dan Sunnah yang menjadi obyek kajian Islam. Ketika Adam akan mengidentifikasi obyek kajian Islam, tampaknya ia merasa kesulitan. Dan kesulitan ini bermuara dari dua unsure pokok, yaitu definisi Islam dan Agama.
Islam menurut Adam tidak bersifat satu dimensi, tetapi banyak dimensi, bukan suatu system kepercayaan dan amal, tetapi multi system dalamsuatu fluktuasi perkembangan yang tidak pernah berhenti dan dalam suatu perubahan hubungan untuk mengembangkan situasi sejarah. Menurut Adam cara yeng terbaik untuk memahami Islam adalah dengan melihat suatu proses pengalaman dan ekspresi yang berlangsung serta terus menerus yang berada dalam kontinuitas sejarah dengan pesan dan pengaruh Nabi SAW.
Sedangkan agama menurut Adams adalah persoalan pengalaman manusia yang bersifat batin dan perilaku manusia yang bersifat lahir. Dia mengutip sebuah tulisan WC Smith yang mnejelaskan masalah ini dengan mengusulkan perbedaan antara tradisi dan kepercayaan. Yang tradisi bersifat eksternal, yaitu aspek-aspek sosial dan histories dari agama yang dapat diamati dalam kasus beberapa masyarakat. Adapun kepercayaan bersifat internal, yaitu dimensi kehidupan agama yang luar biasa bersifat pribadi  dan berorientasi transenden. Kedua hal tersebut (tradisi dan kepercayaan) saling berhubungan satu sama lain dan tidak terpisah. Dengan demikian walaupun tujuan akhir dari pengkaji agama itu untuk mengetahui rahasisa kehidupan batin, namun perhatiannya harus dipusatkan pada tradisi sejarah yang dia kuasai, karena itu bersifat umum dan dapat diakses ke metode-metode penelitian sejarah.
Adapun masalah-masalah pokok yang berhubungan dengan studi Islam sebagai agama, Adams memilahkan menjadi sebelas bagian, yaitu; (1) Arab sebelum Islam , (2) Studi tentang Nabi, (3) Kajian Qur’an, (4) Kajian Hadist, (5) Ilmu Kalam, (6) Hukum Islam, (7) Filsafat, (8) Tasawwuf, (9) Sekte-sekte Islam, terutama Syi’ah, (10) Peribadatan dan hidup saleh, (11) Agama Masyarakat ( Popular Religion).
B.  Metodologi Pendekatan
Untuk mengkaji aspek-aspek tersebut ia menawarkan beberapa pendekatan, diantaranya pendekatan normative atau keagamaan, philosofis, Historis, Ilmu Sosial dan Fenomenologis.
1.      Pendekatan Normatif atau Keagamaan
Dalam pendekatan ini Adams masih memilahkan dalam pendekatan dengan mendasarkan pada tujuan dilakukan pengkajian Islam, yaitu, Pendekatan missionary tradisional, Pendekatan yang bersifat apologi orang-orang Islam, dan Pendekatan irenik (simpatik) dari beberapa penulsi barat.
a.       Pendekatan Misionari Tradisional
Pada abad ke-19 pernah terjadi gerakan yang penuh semangat dari kegiatan misionaris atas anggota berbagai gereja, sekte dan umat Kristen yang sejalan dengan pertumbuhan politik, ekonomi dan militer Eropa di bagian-bagian Asia dan Afrika. Sebagai sebuah kelompok, para misionaris perlu memiliki, dan terus memiliki motivasi yang kuat untuk membangun ikatan-ikatan yang erat dengan penduduk yang kebanyakan dari kaum buruh. Seperti para pejabat colonial, mereka diminta untuk mempelajari bahasa dan terutama ikut serta dalam kehidupan budaya atau adapt istiadat bersama mereka. Karena itu diantara misionaris terdapat individu-individu yang menguasai bahasa-bahasa yang dipakai orang Islam dan berusaha menyingkap kebudayaan Islam membawa mereka piawai dalam pengetahuan mengenai Islam. Dua kelompok tersebut, yaitu kaum misionaris dan pegawai colonial adalah penyumbang pertama yang serius bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan Islam dan sampai sekarang menjadi konstituen dasar bagi amsyarakat ilmiah. Pada Masa-masa awal dari gerakan kaum misionaris, konversi (perpindahan) agama adalah tujuan utama. Mereka tertarik untuk mengenal Islam secara lebih baik, karena pengetahuan yang mendalam bisa membantu menyusun pendekatan kaum muslimin atau bermanfaat dalama perdebatan polemic-polemik agama yang tajam yang kadang-kadang terjadi. Seluruh perhatian dicurahkan kepada perbandingan antara keyakinan Islam dan keyakinan Kristen, yang selalu merugikan Islam. Dan perkembangannya dalam pemikiran Kristen pada jaman yang lebih belakangan, terutama di kalangan kaum Kristen liberal, telah mengabaikan pembenaran-pembenaran teologis untuk usaha-usaha pemurtadan, dan kaum misionaris yang telah lama mapan telah berpaling pada fungsi pelayanan atau pengabdian, yang melayani orang-orang Kristen dan memberikan bangtuan kepada mereka. Pendekatan tersebut sekedar untuk memenugi kepentingan-kepentingan yangs angat subyektif. W Bonar Sidjabat berpendapat bahwa hasil penelitian agama hendaknya tidak masuk tujuan; pertama, manipulasi politik, ekonomi dan sosial budaya, kedua, Dominasi satu agama atas agama yang lain, ketiga, Mencari kelemahan agama yang lain.
b.      Pendekatan Apologetik
Diantara karakteristik utama dari pemikiran muslim pada abad 20 adalah kesukaan pada sikap apologetic.Sikap apologetic yang berkembang ini dapat dimengerti sebagai suatu respon mentalitas muslim terhadap situasi umat Islam di jaman modern. Pada abad lampau umat Islam telah mengembangkan kesadaran diri yang baru dan dinamis, yang muncul dari perasaan pembusukan internal ( sense of Internal Decay) dalam masyarakat dan dari keinginan untuk mengcounter kekuatan-kekuatan intrunsif (menyerang) peradaban Barat.
Sikap Apologetik ini merupakan salah satu dari perangkat dasar dimana umat memenuhi kebutuhannya untuk membangkitkan kembali dan menegaskan kemampuan Islam untuk menghantarkan umat Islam kea bad baru yang gemilang.
Apalogetik dapat dipahami sebagai respon mentalitas muslim terhadap situasi orang Islam di jaman modern. Apalogetik telah menjadi salah satu alat utama oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya untuk jaminan kembali dan menegaskan kemampuan Islam untuk melaksanakan islam ke dalam era baru yang cerah. Pendekatan Apalogetik ini muncul sekitar abad ke dua puuh. Sebagaimana dikatakan di atas, pendekatan Apalogetik ini sebagai respon terhadap mentalitas muslim di abad modern dan untuk membentengi diri dari gempuran ide-ide barat. Pendekatan ini berkaitan masalah rasionalitas. Pendekatan ini berusaha membangkitkan kejayaan masa lalu.
c.   Pendekatan Irenik
Pendekatan ini muncul sejak perang dunia 2. Tujuannya adalah mengajak dialog antara Islam dan Kristen. Di samping itu pendekatan ini telah berhasil mengatasi sikap orang barat yang curiga, antagonistik dan menuduh, khususnya Kristen Barat terhadap tradisi Islam. Yang berjasa dalam hal ini adalah Cragg, ia berusaha menampakkan nilai-nilai yang baik dalam Islam dan membuka mata orang Kristen, ia menyatakan bahwa Islam dan Kristen memiliki kesamaan
W.C. Smith juga menggunakan pendekatan ini, la menganjurkan untuk mencoba memahami kepercayaan orang lain dan bukan untuk menganti kepercayaan itu.
2.   Pendekatan Filalogi dan Sejarah
Metode sejarah filalogi memiliki relevansi yang sangat penting dengan Studi Islam. Filalogilah yang memberikan banyak bahan untuk memahami dan menganalisis dan tanpanya kemajuan dalam memahami Islam tidak mungkin. Sebab filalogi dapat digunakan untuk memahami suatu naskah,[2] untuk memahami pikiran atau gagasan.[3]Adams menganggap penting pendekatan filalogi ini sebab masih banyak naskah-naskah Islam yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa atau belum dikaji oleh negara­-negara Islam. Ia berpendapat bahwa dengan cara pendekatan filalogi akan dapat ketahui maksud dari naskah. Adams juga menawarkan pendekatan sintesa antara filalogi dan sejarah.
3.   Pendekatan Ilmu Sosial
Ilmu sosial dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal ini dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dipahami secara imporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosial. Pentingnya pendekatan sosial dalam agama sebagaimana disebutkan di atas, dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.[4]
Maksud pendekatan ilmu sosial ini adalah implementasi ajaran Islam oleh manusia dalam kehidupannya, pendekatan ini mencoba memahami keagamaan seseorang pada suatu masyarakat. Fenomena-fenomena keislaman yang bersifat lahir diteliti dengan menggunakan ilmu sosial seperti sosialogi, antrapologi dan lain sebagainya. Pendekatan sosial ini seperti apa perilaku keagamaan seseorang di dalam masyarakat apakah perilakunya singkron dengan ajaran agamanya aiau tidak. Pendekatan ilmu sosial ini digunakan untuk memahami keberagamaan seseorang dalam suatu masyarakat.[5]
4.   Pendekatan Fenomenalogi
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang secara harfiah berarti “gejala” atau “apa ayng telah menampakkan diri” sehingga nyata bagi kita. Metode ini dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938). Dalam operasionalnya, fenomenologi agama menerapkan metodologi ilmiah dalam meneliti fakta religius yang bersifat subyektif seperti pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, ide-ide, emosi, maksud, pengalaman, dan sebagainya dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar.[6]
Fenomenalogi agama sulit didefinisikan. Narnun demikian, kami (Adams) dapat membedakan dua masalah penting yang nampaknya memudahkan memahami fenomenalogi adalah metode memahami agama orang lain dengan berusaha untuk masuk komunitas agama dengar menanggalkan artibut yang dimilikinya. Kelebihannya bisa mendalami agama orang lain sedang kekurangannya kalau imannya tidak kuat akan tergoyahkan. Kedua, fenomenalogi di pandang sebagai suatu pendekatan yang mencoba mencari fenomena-fenomena agama dengan melintasi batas-batas komunitas, agama dan budaya.


C.  Penutup.
Charles J Adams yang menyusun buku ini dimulai dengan latar belakang masalah setelah itu ia mengemukakan kegelisahan akademik dimana kata Islam menurut beliau tidak mudah untuk memberikan batasannya. Sebab Islam tidak hanya mengandung monodimensi (satu dimensi) tapi Islam mengandung multi dimensi (banyak dimensi) untuk mendapatkan pengertian Islam yang utuh, maka islam harus dikaji dari berbagai dimensi. Jika mengkaji Islam dari satu dimensi maka pengertian Islam tidak akan utuh.
Selanjutnya dibahas tentang metodologi penelitian. Unsur-­unsur yang ada dalam metodelogi penelitian tersebut adalah obyek, pendekatan dan metode. Yang menjadi obyek dalam Studi Islam adalah Islam itu sendiri. Pendekatannya ada empat macam yaitu pendekatan nonrmatif atau agama, pendekatan filologi dan sejarah, pendekatan ilmu social. Sedangkan metodenya ada beberapa metode, kemudian sistematika pembahasannya dilanjutkan kepada sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dan urgensi penelitian.













DAFTAR PUSTAKA

Sadari Ahmad, SHI, Teori Dasar Pendekatan Dalam Pengkajian Islam ,http://pasca-  uinsuka.blogspot.com/2008/01/teori-dasar-pendekatan-dalam-pengkajian.html, Diakses tanggal 25 Maret 2010.skip to main | skip to sidebar

Charles J. Adam, " Islamic Religiuos Tradition", dalam Leonard Binder (ed.), The Studi of the Middle-East, (New York, Wiely & Sons, tt.).

Atho Mudzhar,1998, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Atang ABD Hakim, Jahih Mubarok, 2001, Metodologi Studi Islam, Bandung : Remaja Rasda karya.

Abuddin Noto, 2004, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Taufik Abdullah dan Rush Karim, 2001, Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta : Tiara Wacana.

Muhammad Latif Fauzi, SHI, MSI Pendekatan Normatif dan Deskriptif dalam Studi Islam (Telaah atas Karya Charles J. Adams), diakses tenggal 25 Maret 2010.



[1]   Sadari Ahmad, SHI, Teori Dasar Pendekatan Dalam Pengkajian Islamhttp://pasca-  uinsuka.blogspot.com/2008/01/teori-dasar-pendekatan-dalam-pengkajian.htmlskip to main | skip to sidebar

[2]        Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998, him 37.

[3]       Atang ABD Hakim, Jahih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung : Remaja Rasda karya, 2001, him 62.
[4]        Abuddin Noto, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, him 40.

[5]        Taufik Abdullah dan Rush Karim, Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991.

[6]        Muhammad Latif Fauzi, SHI, MSI Pendekatan Normatif dan Deskriptif dalam Studi Islam (Telaah atas Karya Charles J. Adams), diakses tenggal 25 Maret 2010.