Senin, 18 April 2011

Birokrasi dan Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Sejarah

A. Pendahuluan
    Setelah 60 tahun merdeka, korupsi merupakan masalah yang tidak pernah selesai di Indonesia. Korupsi merupakan salah satu penyebab timbulnya krisis multidimensi pada  tahun 1997 sampai sekarang. Berdasarkan survey yang dilakukan lembaga The Political and Economic Risk Consultancy pada bulan Januari – Februari 2005 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat pertama sebagai Negara terkorup di Asia. Terdapat dua lembaga terkorup di Indonesia, yaitu peradilan dan birokrasi.
    Korupsi merupakan salah satu bentuk keserakahan yang disebabkan oleh kondisi mental yang korup dan mental yang jauh dari agama.
Kajian ini akan membahas mengenai jalinan korupsi dan birokrasi di Indonesia dari perspektif sejarah, mulai dari masa kolonial dan pasca kemerdekaan.

 B. Pengertian Birokrasi
Istilah birokrasi diambil alih dari bahasa Inggris, yaitu dari kata bureaucracy.  Secara etimologis, kata tersebut berasal dari akar kata bureau yan berarti meja tulis, yaitu tempat pejabat bekerja, dan ditambah kata Cracy yang berarti aturan. Dalam kamus bahasa eropa abad ke-18 dan ke-19, istilah birokrasi diartikan sebagai kekuasaan, pengaruh, atau wewenang yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan.
Sekarang ini birokrasi dipahami sebagai lembaga atau institusi yang melaksanakan fungsi dan tanggungjawab Negara. Selain itu birokrasi juga dipahami sebagai organisasi para apejabat pemerintah yang tersusun secara herarkhis dan diangkat untuk melaksanakan tujuan-tujuan tertentu.
Citra birokrasi yang ideal menurut para ilmuwan politik biasanya mengacu pada pemikiran Max Weber (1864-1920), sosiolog Jerman dan para pendukungnya menyebut dengan Birokrasi Weberian. Birokrasi Weberian mempunyai lima cirri pokok, yaitu :
  1. Adanya derajat spesialisasi atau pembagian tugas yang jelas.
  2. Adanya struktur kewenangan hirarkis dengan batas-batas tanggung jawab yang jelas
  3. Hubungan antar anggota yang impersonal
  4. Cara pengangkatan atau rekrutmen pegawai yang didasarkan pada kecakapan teknis
  5. Adanya pemisahan antara urusan dinas dengan urusan pribadi yang akan menjamin pelaksanaan tugas secara efisien

C. Pengertian Korupsi
Istilah korupsi sama seperti Birokrasi, diambil dari bahasa Inggris, dari kata Corruption. Kata Corruption merupakan kata benda yang tak dapat dihitung, yang bermakna menjadi korup, rusak atau busuk. Asal kata corruption ialah dari kata sifat corrupt, yang berarti: korup,jahat, buruk, atau rusak. Corrupt yang dipakai untuk kata kerja bermakna:menyuap, merusak atau mengubah.
  Makna korupsi yang diaplikasikan dalam bidang politik atau kekuasaan umumnya merujuk dalil yang dikemukakan oleh ilmuwan Politik Inggris, Lord Acton. Menurut Lord Acton Kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolute akan korup secara absolute pula ( power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely). Hal ini berarti bahwa kekuasaan menjadi sumber utama terjadinya korupsi, serta rawan timbulnya penyimpangan dan penyalahgunaan yang merugikan kepentingan seluruh rakyat.
Menurut Prof. DR Amin Rais, MA, terdapat empat  jenis korupsi, yaitu:
1.            Korupsi eksortif
Korupsi eksortif mengacu kepada keadaan yang membuat seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan perlindungan atas hak-hak dan kebutuhannya. Contohnya seorang pengusaha yang terpaksa memberikan sogokan kepada pejabat agar mendapat izin usaha dan mendapat perlindungan terhadap usahanya.
2.            Korupsi manipulatif
Korupsi manipulatif mengacu kepada usaha kotor yang dilakukan oleh seseorang untuk mempengaruhi pembuat kebijakan demi keuntungan peibadi yang sebesar-besarnya.



3.            Korupsi nepotistik
Korupsi nepotistic mengacu kepad perlakuan istimewa yang diberikan kepada anak, kemenakan atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon dimanapun mereka menjabat.
4.            Korupsi Subversif
Korupsi ini mengacu kepada pencurian terhadap kekayaan Negara, baisanya dilakukan oleh pejabat yang berkolusi dengan pengusahaa. Korupsi jenis ini bersifat subversif karena membahayakan eksistensi Negara dalam jangka panjang.

D. Birokrasi dan Korupsi Massa Kolonial
      Sejarawan Belanda, Furnivall menulis dalam bukunya, Colonial Policy and Practice: A Comparative study of Burma and Netherlands India, bahwa negari Belanda dan Hindia Belanda ( Indonesia ketika dijajah belanda ) praktis bebas dari korupsi. Pandangan Furnivall itu tidak sepenuhnya benar. Hindia Belanda sebelum tahun 1800 tatkala berada dibawah kekuasaan VOC justru terdapat contoh tingkah laku korupsi yang dilakukan oleh pegawai pemerintahan ( birokrasi) VOC. Para pegawai VOC pada umumnya menerima gaji yang terlalu rendah sehingga mudah tergoda untuk melakukan penyimpangan (korupsi). Apalagi pengawasan hamper tidak ada sama sekali. Para pejabat VOC banyak yang menjadi kayak arena mencuri (korupsi) dari perusahaan.
Salah satu penyebab utama bangkrutnya pemerintahan (birokrasi)VOC ialah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi yang merajalela. Korupsi sebagai factor utama bangkrutnya VOC terjadi terutama disebabkan oleh gaji para pejabat, baik pejabat Belanda maupun pejabat pribumi sangat rendah. Sebagai contoh, gaji tertinggi adalah gubernur jenderal sebesar 600-700 gulden per bulan, sedangkan gaji yang dianggap paling rendah adalah gaji seoranng juru tulis sebesar 16-24 gulden per bulan. Semuanya menghadapi berbagai macam godaan, namun tentu saja yang paling berpeluang memenuhi godaan itu adalah gubernur jenderal. Sebagian besar gubernur jenderal setelah berhenti dari jabatannya menjadi orang yang kaya raya.
Untuk mendapatkan kedudukan yang strategis, para pegawai VOC terbiasa amelakukan suap, sehingga mereka akan berupaya mengembalikan modal dengan menjual jabatan bupati hingga kepala desa kepada penawar yang paling tinggi. Bahkan yang lebih parah lagi banyak pegawai VOC yang melakukan perdagangan untuk dirinya sendiri dengan memanfaatkan VOC.
Pemerintah Kolonial Belanda yang mengambil alih kekuasaan VOC setelah runtuhnya VOC (1800) relative lebih bersih meskipun pegawai yang bekerja kebanyakan adalah pegawai VOC yang korup. Namun demikian, hubungan antara birokrasi dan korupsi tidak hilang. Sebagai contoh Implementasi system politik Tanam Paksa atau Cultuurstelsel (1830-1870) yang menggunakan system persentase membuka peluang para pejabat pribumi untuk melakukan korupsi.

E. Birokrasi dan Korupsi pada masa Pascakemerdekaan
      Pascakemerdekaan, korupsi mulai merebak di Indonesia pada tahun 1950-an. Pengamatan yang dilakukan oleh Bung Hatta menunjukkan bahwa gaji para pegawai pemerintah yang tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari telah membuat suap atau sogok menjadi hal yang lazim. Kondisi ini menimbulkan kerusakan apda masyarakat dan Negara.
      Jalinan antara birokrasi dan korupsi mencapai puncak pada era Orde Baru. Sentralisasi kekuasaan di tang presiden Soeharto pada awalnya digunakan untuk mendukung pembangunan pada awalnya cukup bermanfaat bagi rakyat. Namun dalam perkembangannya sentralisasi itulah yang membuat Soeharto, keluarga dan rekannya mengembangkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Menurut eorge Junus Aditjondro, KKN yang dikembangkan oleh Soeharto dan kroninya dapat dilacak salah satunya dalam delapan yayasan. Pertama yayasan yang diketuai oleh Soeharto sendiri seperti Supersemar, Dakab, darmasi, dll. Kedua, yayasan yang diketuai oleh Ibu Tien semasa hidupnya seperti Harapan Kita, kartika Candra, TMII, dll, Ketiga, yayasan yang dikelola oleh saudara kandung, saudara tiri dan saudara sepupu dan istrinya, seperti Probosuredjo (adik tiri), Sudwikatmono (sepupu). Keempat, yayasan yang diketuai oleh anak, menantu dan cucunya. Kelima, yayasan yang diketuai para besan Soeharto seperti Kowara (pembangunan Jawa Barat), Soemitro Djojohadikusumo (WALHI). Keenam, yayasan yang diketuai sanak saudara Soeharto, seperti Pangadeg, Ketujuh, yayasan yang dikuasai Soeharto melalui kaki tangannya, seperti habibie, Bob Hasan, Sudomo, Joop Ave, dll. Kedelapan, yayasan yang dikelola ABRI tetapi sangat terlibat dalam bisnis keluarga Soeharto seperti yayasan Kartika Eka Paksi.
Pasca runtuhnya Orde Baru dan memasuki era Reformasi yang relative lebih demokratis, birokrasi semakin tidak mendapat kepercayaan masyarakat. Hal ini merupakan akibat dari buruknya pelayanan birokrasi terhadap masyarakat yang dilakukan pegawai pemerintah. Disamping itu, birokrasi tercoreng oleh KKN yang bukannya hilang melainkan bertambah merajalela. Praktek-praktek KKN seperti pengurusan surat-surat dan berbagai perijinan,serta barang dan jasa yang dihasilkan pihak swasta seperti jalan tol, transportasi, semen dan komoditas lainnya telah menjadi ongkos birokrasi yang mahal dan terjadinya distorsi dalam mekanisme pasar yang tampak pada praktek monopoli yang merugikan kepentingan public.
Saat ini KKN telah merajalela bukan hanya di lingkungan birokrasi baik pusat maupun daerah, melainkan juga di lingkungan legislative baik pusat maupun daerah. Bahkan yang sangat ironis, KKN juga telah merambah Komisi Pemilihan Umum, instrument demokrasi yang seharusnya bersih dari perilaku buruk seperti korupsi. Mengacu pada pemikiran Syafuan Rozi Soebhan, model baru birokrasi yang hendaknya dibangun di Indonesia adalah: (1) kultur dan struktur kerja yang rasional-egaliter, bukan yang irrasional-hirarkis. (2) hubungan kerja atas dasar partisipan, bukan komando (3) tujuan kerjanya mengarah pada pemberdayaan public dan demokratisasi, bukan penguasaan dan pengendalian public (4) sikap terhadap public adalah professional dalam melayani public dan tranparansi biaya, bukan ekonomi biaya tinggi.(5) Model pelayanan kompetitif, bukan kebalikannya, (6) keterkaitan dengan politik didasarkan pada prinsip netralitas politik birokrasi, dan bukan birokrasi yang berpolitik.

 F. Korupsi menurut Islam
Semua fenomena yang telah dikemukakan diatas sangat memprihatinkan, karena pertama, Indonesia adalah sebuah Negara yang mayoritas  penduduknya beragama islam (80 %), sementara ajaran islam sangat anti korupsi. Kedua, masyarakat Indonesia dikenal sangat religius yang mana agama diperkirakan mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, namun dalam kenyataannya korupsi menempati rangking I di Asia.
Ajaran Islam sangat anti korupsi dapat ditelusuri dari pemilahan lima jenis harta hasil selingkuh jabatan yang berkaitan dengan kekuasaan dan birokrasi. Kelima jenis harta yang dapat dikategorikan sebagai korupsi adalah : pertama, suap (risywah). Suap dan segala bentuk manifestasinya seperti uang semir, uang rokok, dan uang pelican diharamkan dalam ajaran islam. Semua yang terlibat suap, baik pemberi maupun penerima dilaknat Allah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :” Laknat Allah bagi penyuap, penerima suap dan perantara mereka.”  
Kedua Hadiah atau hibah, Dalam islam hadiah atau hibah yang diterima oleh pejabat yang terkait dengan kekuasaan dan birokrasi merupakan salah satu bentuk kecurangan. Hal ini karena hadiah atau hibah tersebut tentu ada maksud-maksud tertentu yang melatar belakanginya. Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda :” Pemberian (hibah) kepada penguasa adalah kecurangan”.
Ketiga, Rampasan, Harta yang diperoleh dengan cara merampas atau melalui represi kekuasaan atau birokrasi mutlak diharamkan dalam ajaran islam. Mengacu kepada sabda Rasulullah :”Janganlah kamu makan harta orang lain dengan cara bathil”
Keempat, Komisi, Semua jenis komisi baik yang halal maupun yang tidak , dilarang oleh islam untuk diterima oleh pejabat atau pegawai apabila terkait dengan kekuasaan dan kewenangan sebuah jabatan. Rasulullah mengingatkan dalam sebuah hadist : “Siapa yang sudah diberi rizki atas jabatannya, janganmengambil lagi diluar itu karena berarti curang”.
Kelima, Rampokan, harta yang diperoleh melalui cara kekerasan, menipu danmerugikan orang lain haram hukumnya dalam islam. Rasulullah bersabda : “ Bukan umat kami, orang yang merampas dan merampok, serta yang mendukungnya.”
Pemberantasan korupsi tidak akan berarti apabila tidak ada perbaikan system dalam birokrasi. Sementara itu perbaikan system dalam birokrasi menuntut tersedianya sumber daya manusia birokrasi, yakni pera pejabat dan pegawai yang bersih, jujur dan bermental anti korupsi. Disini letak titik temu, dimana agama dapat berperan untuk membina dan mendidik SDM birokrasi yang bersih, jujur dan bermental anti korupsi tersebut.

G. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Pertama, Korupsi di Indonesia sebagai variable sejarah dalam arti merupakan budaya bangsa sebenarnya tidak tepat, sebab lebih berkaitan dengan variable struktur birokrasi yang membuka peluang dan celah-celah bagi terjadinya korupsi. Kedua, ajaran islam sangat anti korupsi, sehingga perlu disosialisasikan kepada seluruh masyarakat bahwa korupsi merupakan salah satu biang utama kehancuran bangsa, dan harus diberantas sampai ke akar-akarnya.

H. Tanggapan
Dari uraian diatas hubungan antara korupsi dan Birokrasi saling berkaitan, dimana seperti yang dikatakan ilmuwan Politik Inggris, Lord Acton bahwa Kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolute akan korup secara absolute pula ( power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely) sehingga perlu adanya control yang jelas terhadap birokrasi dan penentuan batasan waktu dalam sebuah jabatan
Dari uraian diatas juga perlu ditambah dengan aturan atau hukum pidana korupsi sesuai dengan  Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga menjadi jelas ketika seorang Birokrat melakukan perbuatan yang mengarah ke Korupsi.
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebut “korupsi” ( dari bahasa latin corruptio = penyuapan, corruptore = merusak), gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun secara harfiyah dari korupsi berupa :
a)      Kejahatan, kebusukan dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran ( S wojowasito- W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, penerbit : Hasta Bandung).
b)      Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya ( W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, penerbit : Balai Pustaka, 1976)
Menurut Evi Hartanti, SH dalam bukunya Tindak pidana Korupsi menyatakan bahwa Secara harfiah korupsi merupakan suatu yang busuk, jahat dan merusak, karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintahan, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, factor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya
Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam Kamus Hukum, yang dimaksud curruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan negara.
Baharudin Lopa mengutip pendapat dari David M Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yaitu  yang menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari definisi yang dikemukakan, antara lain : Manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi.  Dikatakan pula, Pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian hadiah, onkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh kedudukan social, ayau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai perbuatan korupsi. 
Apapun arti dari korupsi itu sendiri, maka perlu diberantas karena merusak sendi-sendi bangsa, dan perlu adanya kepastian hukum, sehingga tidak merusak anak bangsa dari generasi ke generasi.













DAFTAR PUSTAKA

Albrow, Martin (1996), Bureucracy, terjemahan, M.Rusli Karim dan Totok Daryanto, Birokrasi, Yogyakarta: Tiara Wacana

Boxer, C. R. (1983), “Jan Compagnie in War and Piece 1602-1799 A Short History of the Dutch East-India Company” terjemahan Bakri Siregar Jan Kompeni dalam Perang dan Damai 1602-1799, sebuah sejarah singkat tentang Persekutuan Dagang Hindia Belanda, Jakarta: Sinar Harapan

Djoko Susilo (editor) (2004), Kuasa antara Moral, Etika dan Amanat: PErcikan Pemikiran M. Amin Rais, Yogyakarta: Palem

Aditjondro, George Junus (1998), Dari Soeharto ke Habibie Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua Puncak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Rezim Orde Baru, Jakarta: Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan (MIK) dan Pijar Indonesia

Hartanti, Eni, SH, (2007) Tindak Pidana Korupsi, ed.2, Jakarta: Sinar Grafika

S. Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Bandung: Hasta

W.J.S Poerwadarminta, (1976), Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar